1.
Pengertian Aksiologi
Aksiologi
merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani
yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartikan
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh.
Menurut
John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau
suatu sistem seperti politik, sosial dan agama, sedangkan nilai itu sendiri
adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Menurut
Richard Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu
pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui
bertalian, atau yang menyumbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian
kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang
senantiasa bertambah.
Aksiologi
ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau
dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti
epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah
kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika
bersangkutan dengan masalah keindahan
Secara
historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral
(morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih
akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the
theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta
tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu
teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik Louis
O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono. 1996.
Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana. Hal. 327. (what is good?).
Tatkala yang baik teridentifikasi, maka
memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata
atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should).
Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan
konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
2.
Obyek atau Ruang Lingkup Aksiologi Filsafat Ilmu
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu
etika dan estetika.
a) Etika
Etika berasal dari bahasa yunani
yaitu ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan di mana
etika berhubungan erat dengan konsep individu atau kelompok sebagai alat
penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Etika
adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis
masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat
istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya
ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis.
Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan
sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis
Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral
ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan
adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak
menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah
pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahi dan mampu mempertanggung-jawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika,
nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya
adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab
terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang
pencipta. Dalam pembahasan kefilsafatan islam istilah Etika disejajarkan dengan
istilah Akhlak. Dalam pemikiran akhlaknya Ibnu Bajjah membagi
perbuatan-perbuatan manusia ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Perbuatan yang timbul dari motivasi
naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengan- Nya, baik dekat ataupun jauh.
b. Perbuatan yang timbul dari
pemikiran yang lurus dan kemauan yang lurus dan yang yang bersih dan tinggi,
dan bagian ini disebut “perbuatan perbuatan manusia”.
Etika
menurut al-Ghozali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnyadalam
bukunya Ihya’ Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika al
Ghazali adalah teori tasawufnya.
Mengenai tujuan pokok dari etika al-Ghazali kita temukan pada semboyan tasawuf
yang terkenal :
al-Takhalluq bi-Akhlaqillah ‘ala
taqothil Basyathiyyah, atau pada semboyannya yang lain, al-Shifatir-Rahman ‘ala
Taqhathil Basyathiyah.
Maksud
semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan
sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun dan sifat-sifat
yang disukai Tuhan,sabar jujur, takwa, zuhud, ihlas beragama dan sebagainya.
Al-Ghazali dalam pemikiran etikanya melihat sumber-sumber kebaikan manusia itu
terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya [taqarrub] terhadap Allah.
Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan beberapa
cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting
ialah al-murabaah, yakni merasa diawasi terus oleh Allah, dan al-muhasabah ,
yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri. Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu
ada dua tingkat yaitu kepuasan dan kebahagiaan [lazat dan saadah]. Kepuasan
adalah ketika kita memgetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui
kebenaran itu, bertambah banyak merasakan kebahagiaan. Akhirnya kebahagiaan
tertinggi itu ialah mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu
sendiri. Itulah yang disebut ma’rifatullah, yaitu mengenai adanya Allah tanpa
syak sedikit juga, dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin
[musyahadatulgilbi]. Apabila sampai pada penyaksian itu manusia akan merasakan
suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan.
b) Estetika
Estetika
adalah cabang ilmu yang membahas masalah keindahan. Bagaimana keindahan bisa
tercipta dan bagaimana orang bisa merasakannya dan memberi penilaian terhadap
keindahan tersebut. Maka filsafat
estetika akan selalu berkaitan dengan baik dan buruk, indah dan jelek. Bukan
berbicara tentang salah dan benar seperti dalam epistemologi. Secara etimologi,
estetika diambil dari bahasa Yunani, aisthetike yang berarti segala sesuatu
yang dapat dicerna oleh indra.
Estetika membahas
refleksi kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi penilaian terhadap sesuatu,
indah atau tidak indah, beauty or ugly. Estetika disebut juga dengan istilah
filsafat keindahan. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan
tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala
sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu
kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah
bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga
mempunyai kepribadian. Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas
objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya
kita bangun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara
umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak
indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang
cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang
keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan. Al-Ghazali
memberikan penjelasan Keindahan merupakan landasan dari seni. Berdasarkan
pernyataan itu, Al Ghazali membagi keindahan menjadi beberapa tingkat yaitu,
keindahan inderawi dan natsani (sensual) yang disebut juga keindahan lahir,
keindahan imajinatif dan emotif, keindahan aqliyah atau rasional, keindahan
ruhaniah atau irfani, dan yang terakhir yaitu keindahan ilahiyah atau
transendental. Dua keindahan terakhir dari Al Ghazali tersebut itulah yang
biasanya dieksplorasi oleh para sufi dalam setiap karyanya. Secara teori,
imajinasi puitis sebenarnya merupakan sarana prinsip para penyair mistikus
untuk membawa pembaca ke suatu pengertian tentang wahyu kenabian. Sedangkan
keindahan ruhaniah dan irfani (mistikal) dapat dilihat dalam pribadi nabi. Nabi
merupakan pribadi yang indah bukan semata-mata disebabkan kesempurnaan jasmani
dan pengetahuannya tentang agama dan dunia, melainkan karena akhlaknya yang
mulia dan tingkat makrifatnya yang tinggi. Menurut Al-Ghazali, keindahan suatu
benda terletak di dalam perwujudan dari kesempurnaan. Perwujudan tersebut dapat
dikenali dan sesuai dengan sifat benda itu
Disamping
lima panca indera, untuk mengungkapkan keindahan di atas Al Ghazali juga
menambahkan indra ke enam yang disebutnya dengan jiwa (ruh) yang disebut juga
sebagai spirit, jantung, pemikiran, cahaya. Kesemuanya dapat merasakan
keindahan dalam dunia yang lebih dalam yaitu nilai-nilai spiritual, moral dan
agama.
Kaum materialis cenderung mengatakan
nilai-nilai berhubungan dengan sifat-sifat subjektif, sedangkan kaum idealis
berpendapat nilai-nilai bersifat objektif. Andaikan kita sepakat dengan kaum
materialis bahwa yang merupakan nilai keindahan itu merupakan reaksi-reaksi
subjektif, maka benarlah apa yang terkandung dalam sebuah ungkapan “Mengenai
masalah selera tidak perlu ada pertentangan”. Sama seperti halnya orang-orang
yang menyukai lukisan abstrak, jika sebagian orang mengatakan lukisan abstrak
aneh, maka akan ada juga orang yang mengatakan bahwa lukisan abstrak itu indah.
Reaksi ini muncul dalam diri manusia berdasarkan selera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar