Minggu, 24 Juli 2016

Fiqih Jinayah, Pencurian, Perampokan dan Korupsi



fiqih jinayah: pencurian, perampokan dan korupsi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara garis besar pembahasan hukum pidana Islam dapat dibedakan menjadi dua. Ada yang menyebutnya fiqih jinayah dan ada pula yang menjadikan fiqih jinayah sebagai sub bagian yang terdapat dibagian akhir isi sebuah kitab fiqih atau kitab hadist yang corak pemaparanya seperti kitab fiqih.
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah yang tindak pidana, objek kajian fiqih jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu : pertama, ar-rukn al-syar’i unsur formil. Kedua, al-rukn al-madi’ atau unsur materil dan yang ketiga, al-rukn al-adabi atau unsur moril.
Itulah objek utama kajian fiqih jinayah jika dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana atau arkan al-jarimah. Sementara itu, jika dikaitkan dengan materi pembahasan Jarimah Sariqah, Jarimah Hirabah dan Jarimah Korupsi. Dua dari pembahasan itu termasuk kedalam al-rukn al-syar’i dan satunya adalah ar-rukn al-madi’(korupsi).
B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi rumusan masalah kepada tiga permasalahan pokok masalah:
1.      Apa yang Dimaksud dengan Sariqah?
2.      Apa Sajakah syarat-syarat Jarimah Sariqah?
3.      Berapakah Nisab Barang Curian?
4.      Apa yang Dimaksud dengan Jarimah?
5.      Sanksi apa saja yang Diberikan untuk Pelaku Jarimah?
6.      Apa yang Dimaksud Kurupsi?
7.      Bagaimana jarimah korupsi

C.    Metode Penulisan
Adapun metode penulisan pada makalah ini menggunakan metode kepustakaan yang mengambil dari berbagai sumber seperti buku dan internet untuk dijadikan referensi, dan yang berkaitan pada masalah pokok pembahasan.


  
 BAB II
PEMBAHSAN
1.      PENCURIAN (SARIQAH)
A.    Pengertian Sariqah
Menurut bahasa sariqah adalah bentuk masdar dari kata  سَرَقَ - يَسْرِق – سَرَقــًا dan secara etimologis berarti   أَخَذَ مَـالَهُ خُفْيَةً وَ حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya. Sementara itu, secara etimoligis definisi sariqah dikemukakan oleh beberapa ahli berikut:
1.      Wahbah Al-Zuhaili: “Sariqah ialah mengambil hara milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam katagori mencuri adalah mencuri informasi dan pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi”.
2.      Abdul Qadir Audah: “Ada dua macam sariqah menurut syariat islam, yaitu sariqah yang diancam dengan had dan sariqah yang diancam dengan ta’zir, sariqah yang diancam dengan had dibedakan menjadi dua, yaitu pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil ialah mengambil harta milik orang lain secara diam-diam. Sementara itu, pencurian besar ialah mengambil hak orang lain dengan kekerasan. Pencurian jenis ini juga disebut perampokan”.
3.      Muhammad Al-Khatib As-Sarbini: “Sariqah ialah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dan dzalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat”.
Dari beberapa definisi sariqah diatas, dapat disimpulkan bahwa sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.
Jenis pencurian itu bertingkat-tingkat. Kalau diurutkan dari tingkat terendah sampai tertinggi berdasarkan cara melakukannya adalah penjarahan, pejambretan, perampasan dan perampokan.
B.     Dalil, Nisab Barang Curian dan Sanksi Terhadap Pencuri
Ulama menyatakan bahwa pencurian termasuk salah satu dari tujuh jarimah hudud. Hal ini sejalan dalam firman Allah SWT:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. ( QS. Al-Ma’idah (5): 38)
Di dalam ayat ini Allah menyatakan secara tegas bahwa laki-laki pencuri dan perempuan pencuri harus dippotong tanganya. Ulama telah sepakat dengan hal ini, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang curian dan tangan sebelah mana yang harus dipotong.
Sejak zaman jahiliah pencuri telah diancam dengan hukuman potong tangan. Orang pertama yang memberi keputusan hukuman ini adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Kemudian Allah memerintahkan untuk memberlakukan hukuman ini dalam islam. Laki-laki pencuri pertama yang tangannya dipotong oleh Rasulullah adalah Al-Khiyar bin Adi bin Naufal bin Abdi Manaf. Perempuan pencuri  yang pertama dipotong tangan oleh Rasulullah adalah Murrah binti Sufyan bin Abdi Al-Asad dari bani Mahzum. Abu bakar pernah memotong tangan Ibnu Samurah, saudara Abdurahman bin Samurah. Hal ini telah disepakati bersama sepintas ayat ini bersifat umum setiap pencuri harus dipotong tangan. Akan tetapi ternyata tidak demikian, sebab terdapat sabda Rasulullah SAW beliau bersabda bahwa pencuri akan dipotong tangan apabila pencuri jika harganya seperempat dinar atau lebih.
Jadi jelaslah bahwa hukuman ini hanya berlaku pada sebagian pencuri, bukan setiap pencuri. Pencurian kurang dari seperempat dinar tidak terkena hukuman potong tangan. Inilah pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thallib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits, As-Syafi’i dan Abu Saur. Imam Malik berkata: “tangan pencuri dipotong juga karena mencuri seperempat dinar atau tiga dirham. Kalu mencuri sesuatu seharga dua dirham yang senilai seperempat dinar, karena selisih nilai tukarnya, tangan pencuri tersebut tidak boleh dipitong.
Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai nisab. Setelah mereka mengisyaratkan (harus mencapai nisab) bagi pencuri yang harus dihukum potong tangan, muncul keberagaman pendapat:
a.       Abu hanifah dan dua orang sahabat (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan As-Syaibani) berpendapat bahwa tangan pencuri tidak harus dipoton, kecuali ia mencuri sesuatu senilai sepuluh dirham, baik berupa takaran, uang dinar, maupun timbangan.
b.      Fuqaha Hijaj, As-Syafi’i: nisab barang curian yang harus dipotong yaitu seperempat dinar atau tiga dirham.
Dan adapun pendapat yang benar adalah apa yang dikemukakan As-Syafi’i dan ulama-ulama yang bersependapat dengannya, karena Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang nisab sebesar seperempat dinar. Dalam beberapa hadis dengan berbagai redaksinya. Oleh karena itu, semua informasi yang berbeda dengan ukuran ini tidak dapat diterima, sebab bertentangan dengan hadist-hadis tersebut.
Untuk dapat mengatahui nilai tiga dirham dalam kurs rupiah, terlebih dahulu harus mengukur dengan dolar Ameriks Serikat. Satu dolar Amerika Serikat sama dengan 5,7 pound Mesir. Dengan demikian, tiga puluh pound Mesir sama dengan 10,52 dolar Amerika Serikat. Jika satu dolar Amerika Serikat 9,500 rupiah, maka 10,52 dolar Amerika Serikat sama dengan 99.940 rupiah dan dapat dibulatkan menjadi 100.000 rupiah. Inilah perkiraan seperempat dinar atau tiga dirham, yaitu 100.000 rupiah.
C.    Syarat dan rukun Jarimah Sariqah
Dalam memberlakukan hukumpotong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan syarat dan rukunya. Dalam masalah ini Shalih Sa’id Al-haidan, dalam bukunya Hal Al-Muttaham fi Majlis Al-Qada mengemukakan lima syarat untuk dapat diberlakukannya hukum ini, yaitu sebagai berikut.
1.      Syarat Jarimah Sariqah
a.       Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya gila, anak kecil, belum baligh dan orang yang dipaksa maka tidak dapat dihukum dan dituntut.
b.      Pencurian tidak dilakukkan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan. Comtohnya dalam kasus seorang hamba sahaya milik hatib bin Abi Balta’ah yang mencuri dan menyembelih seekor unta milik seseorang yang akhirnya dilaporkan kepada Umar bin Khattab. Namun Umar bin Khattab justru membebaskan pelaku karena terpaksa melakukannya.
c.       Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak mencuri harta ayahnya dan sebaliknya.
d.      Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperi harta yang dicuri itu menjadi hak bersama antara pencuri dan pemilik.
e.       Pencurian tidak terjadi saat peperangan di jalan Allah. Pada saat seperti itu, Rasulullah tidak memberlakukkan hukuman poong tangan. Meskipun demikian, jarimah ini dapat diberikan sanksi dalam bentuk lain, seperti dicambuk atau dipenjara.[8][8]
2.      Rukun Jarimah Sariqah[9][9]
a.       Mengambil secara sembunyi-sembunyi.
hal ini harus memenuhi tiga syarat seperti penjelasan berikut.
Proses pengambilan ini harus sempurna, tidak cukup hanya dengan adanya pelaku yang berada didekat barang curian. Perihal pengambilan barang orang lain ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, pencuri mengambil barang curian itu dari tempat penyimpanan. Kedua, barang curian itu dikeluarkan dari pihak korban. Ketiga, barang curian berpindah tangan dari pihak korban kepada pihak tersangka. Jadi kalau syarat-syarat yang tiga ini tidak terpenuhi, maka hukum potong tangan ini tidak berlaku, dan si pelaku hanya dikenakan ta’zir saja.
b.      Barang yang diambil berupa harta.
Sebagaimana peryataan yang telah dikemukakkan oleh Abdul Qadir Audah: Harta yang dicuri harus memenuhi beberapa syarat agar pelaku dapat dihukum potong tangan. Syarat-syarat yang dimaksud adalah pertama, berupa harta yang bergerak. Kedua, berupa benda yang berharga. Ketiga, harus mencapai nisab
c.       Harta yang diambil merupakan milik orang lain
d.      Melawan hukum
Mengenai hal ini, Abdul Qadir Audah berpendapat sebagai berikut:
Mengambil secara sembunyi-sembunyi tidak dapat dianggap sebagai pencuri kecuali ada didalam benak si pelaku terdapat unsur melawan hukum. Sikap melawan hukum ini dapat terjadi pada saat pelaku mengambil harta orang lain, padahal ia tau bahwa perbuatan itu diharamkan.

2.      Perampokan (Hirabah)
A.    Pengertian Perampokan
Hirabah adalah bentuk masdar dari kata حَرَبَا- يُحَارِبُ- مُحَارَبَةً- حَرَابَةً yang secara etimologis berarti  قَـاتَلَهُmemerangi atau dalam kalimat حَرَبَ اللهُ berarti seseorang bermaksiat kepada Allah. Adapun secara terminoligis banyak pendapat mengenai hal ini:
1.      Imam Syaf’i dalam kitabnya Al-Umm: Hirabah adalah mereka yang melakukan penyerangan yang membawa senjata kepada sebuah komunitas orang, sehingga para pelaku merampas harta kekayaan mereka di tempat-tempat terbuka secara terang-terangan.
2.      Muhammad Abu Zahrah: Hirabah adalah keluar unuk menyerang dan merampas harta benda yang dibawa oleh pengguna jalan dengan cara memakaksa, sehingga mereka terhalang-halangi dan tidak bisa lewat karena jalanya terputus. Hal ini bisa jadi dilakukkan secara berkelompok ataupun individu yang jelas mereka memiliki kemampuan untuk memutus jalan. Baik dilakukan dengan mengunakan senjata, pedang, tongkat, batu, kayu dan lain-lain.
3.      As-Sayyid Sabiq dlam kitabnya Fiqih Sunnah: Hirabah adalah sekelompok orang yang menandang senjata di negri Islam dengan tujuan mengacaukan, pertumpahan darah, perampasan harta kekayaan, merusak kehormatan, merusak tumbuh-tumbuhan dan membunuh hewan-hewan. Semuanya dilakukan melanggar agama, akhlaq, peraturan dan hukum.
4.      Abdul Qadir Audah: bahwa perampokan berbeda dengan pencurian. Perbedaanya adalah cara yang dilakukan. Pencurian dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi sedangkan perampokan dilakukan dengan cara terang-menerang dan disertai dengan kekerasan.
Dan dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa harabah adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di rumah maupun diluar rumah untuk menguasai harta orang lain dan membunuh korban untuk menakut-nakuti.
B.     Dalil dan Sanksi Terhadap Perampok
Dalil naqli tentang perampokan disebutkan secara tegas di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
 إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ. إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.      
Artinya: “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau poong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negri (tempat kediaaman). Yang demikain itu (sebagai) suatu penghinaan terhadap mereka di dunia dandi akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang taubat(di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka: maka ketauhilah bahwasahnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ma’idah (5): 33-34)
عَنْ أَنَسِ بْنِ ماَ لِكٍ أَنَّ ناَ ساً مِنْ عُرَيْنَةَ قَدِمُوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِيْنَةَ فَاجْتَوَوْهَا فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنْ شِئْتُمْ أَنْ تَخْرُجُوْا إِلَى اْلإِبِلِ الصَّدَقَةِ فَتَشْرَبُوْا مِنْ أَلْبَنِهَا وَأَبْوَالِهَا فَفَعَلُوْا فَصَحَّوْا ثُمَّ مَالُوْ عَلَى الرُّعَاةِ فَقَتَلُهُمْ وَارْتَدُّوْا عَنْ الإِسْلَامِ وَسَاقُوْا ذَوْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَبَعَثَ فِى أَثَرِهِمْ فَأُتِيَ بِهِمْ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأرْجُلَهُمْ وَسَمَلَ أَعْيُنَهُمْ وَتَرَكَهُمْ فِى اْلحَرَّةِ حَتَّى مَــاتُوْ.
Artinya: “Dari Annas bin Malik bahwasahnya ada sekelompok orang dari suku urainah yang memasuki kota Madinah unuk bertemu dengan Rasulullah SAW mereka lalu sakit karena tidak cocok dengan cuaca kota Madinah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, “Jika kalian ingin berobat, sebaiknya kalian menuju ke suatu tempat yang di sana yang terdapat beberapa unta yang berasal dari sedekah. Kalian dapat meminum air susunya dan air seninya”. Mereka melakukan apa yang diperintahkan Nabi dan mereka pun sembuh. Setelah iu, mereka mendatangi orang-orang yang mengembalakan lalu membantai para pengembala. Mereka lalu murtad dan menggiring (merampok) beberapa ekor unta milik Rasulullah SAW. Hal ini didengar oleh beliau. Beliau pun mengutus pasukan untuk mengajar. Seelah tertangkap, mereka didatangkan kepada Rasulullah SAW, lalu beliau memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka. Mata mereka dicungkil dan diinggalkan di bawah terik matahari sampai akhirnya meninggal”. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan An-Nasa’i).
Mengenai hadis diatas Imam Nawawi berkomentar:
Ulama berbeda pendapat mengenai makna hadis Al-Uraniyyin ini. Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa hadist ini terjadi sebelum turun ayat tentang hudud. Sementara itu, ayat tentang perampokan dan larangan memutilasi telah terhapus, tetapi konon hal itu tidak terhapus. Mengenai kasus Al-Urainiyyin ini, turunlah ayat tentang sanksi perampokan. Sesungguhnya Nabi mengqishah mereka karena mereka memperlakukkan para pengembala dengan tindakan yang sama.
Kelompok lainya berpendapat para pelaku dikenai sanksi had tertentu sesuai dengan tindakan mereka. Orang yang hanya meneror di jalan dan merampas harta maka sanksinya dipotong tangan dan kakinya secara bersilang: tentu jika anggota badanya normal, agar tidak dapat digunakan. Kemuadian sebagian ulama berpendapat bahwa untuk menentukan sanksi potong tangan, haruslah mencapai nisab pencurian, tetapi sebagian yang lain tidak mengisyaratkan seperti itu.
Jika pelaku mengambil harta dan membunuh korban maka sanksinya berupa dipotong tangan dan kakinya, lalu disalib. Dan apabila pelaku membunuh korban, tetapi tidak mengambil harta korban maka hukumanya berupa hukuman mati sebagai had, bukan sebagai qishas. Karena qishas tidak dapa dibatalkan lanaran dimaafkan oleh pihak keluarga korban. Demikian halnya persyaratan dalam pemberlakuan qishash juga tidak berlaku di sini, sebab ang terjadi di sini adalah kewajiban memberlakukan had sebagai balasan atas sikap pelaku yang menentang Allah dan Rasul-Nya.

3.      TINDAK PIDANA KORUPSI
A.    Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus, yang disalin ke berbagai bahasa. Istilah corruptio diserap dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda terbentuk kata corruptie (korruptie). Dari istilah bahasa Belanda inilah yang kemudian dipakai oleh orang Indonesia dalam penyebutan istilah korupsi. Secara harfiah, korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Korupsi menurut ahli, Syed Hussein Alatas, menegaskan bahwa esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.
Dalam bahasa Arab, korupsi disebut juga dengan risywah, yang berarti penyuapan. Suap diartikan sebagai hadiah, penghargaan, pemberian, atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah). Dalam kitab Hâsyiah Ibn ‘Abidin, suap (risywah) dipahami sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah, atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.
B.     Sebab-sebab Terjadinya Korupsi
Adapun beberapa sebab terjadinya kurupsi di Indonesia. Awalnya disebabkan karena kondisi sosial ekonomi yang rawan sehingga orang melakukan korupsi dengan motif mempertahamkan hidupnya. Akan tetapi kian lama motif ini kian bergeser menjadi motif ingin memperoleh kekayaan dan kemewahan hidup. Penyebab lainya adalah berupa kelemahan makanisme organisasi dan tidak dilaksanakanya fungsi pengawasan secara wajar. Menurut Baharuddin lopa, hal ini akan mendorong seseorang yang tidak mempunyai iman yang kuat akan melakukan tindakan korupsi.
Beberapa faktor lainya adalah berupa penegakan hukum yang tidak konsisten, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, langkahnya lingkungan yang antikorup, rendahnya pendapatan penyelenggaraan negara, kemiskinan dan keserakahan, budaya memberi upeti, imbalan dan hadiah, konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan kurupsi serta gagalnya pendidikan agama dan etika.
Dengan demikian, faktor penyebab korupsi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan pelaku kurupsi sebagai penegang amanat berupa jabatan dan wewenang yang dibawanya. Sedangkan faktor eksternal berupa sistem pemerintahan dan kepemimpinan serta pengawasan yang tidak seimbang sehingga bisa membuka peluang terjadinya kurupsi.
C.    Sanksi atau Uqubah Tindak Pidana Korupsi
Dalam fiqh jinayah, memang tidak ada nash yang secara khusus mencatat dengan jelas sanksi dari perbuatan korupsi. Islam mengkaitkan perbuatan korupsi ini diidentifikasi dengan beragam bentuknya seperti ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghasab (mengambil hak secara paksa), khiyanat (pengkhianatan), dan sariqah (pencurian). Ketentuan perbuatan-perbuatan tersebut, kecuali sariqah, tidaklah termasuk dalam hukuman hudud, sehingga hukuman akan diganti dengan hukuman ta’zir. Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah; penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup).
Sanksi yang diterapkan terhadap tindakan ghulul pada zaman Rasulullah saw lebih ditekankan pada sanksi moral. Pelaku ghulul akan dipermalukan di hadapan Allah kelak pada hari kiamat. Dengan kata lain, bahwa perbuatan ini tidaklah dikriminalkan, melainkan hanya dengan sanksi moral dengan ancaman neraka sebagai sanksi ukhrawi. Ini lantaran pada saat itu, kasus-kasus ghulul hanya merugikan dengan nominal yang sangat kecil, kurang dari tiga dirham. Mungkin saja akan berbeda seandainya kasus ghulul memakan kerugian jutaan hingga miliaran rupiah, pasti akan ada hukuman fisik yang lebih tegas untuk mengatasinya.
Sanksi risywah tidaklah jauh berbeda dengan sanksi bagi pelaku ghulul. Abdullah Muhsin al-Thariqi mengemukakan bahwa sanksi hukum pelaku risywah (suap) tidak dijelaskan secara jelas oleh Al-qur’an dan hadits, mengingat bahwa sanksi risywah masuk dalam kategori sanksi ta’zir yang kekuasaannya berada di tangan hakim. Untuk menentukan jenis sanksi yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidup bermasyarakat sehingga berat dan ringannya sanksi hukum harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan.
Dalam dalil-dalil manapun tidak ditemukan sanksi yang jelas bagi pelaku ghasab. Namun Imam al-Nawawi mengklasifikasikan jenis sanksi bagi pelaku ghasab yang dikaitkan dengan kondisi barang sebagai objek ghasab menjadi tiga kategori, yakni barang yang dighasab masih utuh seperti semula, barang ghasab telah lenyap, dan barang ghasab berkurang. Masing-masing hukumannya sama-sama menerangkan bahwa pelaku harus mengembalikan barang-barang ghasab secara utuh kepada pemilik aslinya apabila tidak demikian, maka petugas berwenang mengambil alih dengan memberikan hukuman ta’zir/ta’dib kepada pelaku.
Hukuman bagi pelaku korupsi dalam perundangan-undangan Indonesia telah diatur secara jelas dan lengkap, yakni dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman bagi pelakunya, baik itu suap, gratifikasi, dan lain-lain, akan dikenakan hukuman penjara dan/atau denda. Bahkan dalam ketentuan khususnya, apabila korupsi dilakukan dengan mengakibatkan bahaya bagi negara, seperti terjadi bencana nasional atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi, maka dapat diancam hukuman mati.
Hukuman bagi pelaku suap dapat dikerat Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan rincian hukuman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Sedangkan hukuman penggelapan dapat dijerat Pasal 8 undang-undang tersebut dengan rincian hukuman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Apabila pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugasi menjalankan jabatan umum melakukan pemalsuan administrasi pembukuan maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Hingga pada perbuatan gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dengan ketentuan yakni nominal uang korupsinya mencapai Rp.10.000.000,- maka diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).




 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut bahasa sariqah adalah bentuk masdar dari kata  سَرَقَ - يَسْرِق – سَرَقــًا dan secara etimologis berarti   أَخَذَ مَـالَهُ خُفْيَةً وَ حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya.
sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.
Di dalam ayat  Allah menyatakan secara tegas bahwa laki-laki pencuri dan perempuan pencuri harus dippotong tanganya. Ulama telah sepakat dengan hal ini, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang curian dan tangan sebelah mana yang harus dipotong. Dan adapun nisab barangnya adalah tiga dinar atau empat dirham.
harabah adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di rumah maupun diluar rumah untuk menguasai harta orang lain dan membunuh korban untuk menakut-nakuti.
Jika pelaku mengambil harta dan membunuh korban maka sanksinya berupa dipotong tangan dan kakinya, lalu disalib. Dan apabila pelaku membunuh korban, tetapi tidak mengambil harta korban maka hukumanya berupa hukuman mati sebagai had, bukan sebagai qishas.
 Korupsi disebut juga dengan risywah, yang berarti penyuapan. Suap diartikan sebagai hadiah, penghargaan, pemberian, atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).




Daftar Pustaka
Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Cetakan XIV. Pustaka Progresif .
Zuhail, Wahbah. 1997. Al-Fiqh AL-Adilah. Jilid VII. Bairut: Dal Al-Fikr
Qadir Audah, Abdul. 1992. Mu’assah Al-Risalah. Jilid II. Bairut: Dal Al-Fikr.
Al-Khatib, Muhammad. Mughni Muhtaz. Jilid IV. Bairut: Dal Fikr
Nurul Irfan, Muhammad. Fiqh Jinayah. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta: Bumi Aksara
Al-Qurthubi, Abu Abdullah bin Ahmad Al-Anshari. Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an. Bairut: Maktabah Ashariyah.
http://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/03/27/tindak-pidana-korupsi-ditinjau-dari-fiqh-jinayah-dan-hukum-positif-indonesia/


[1] A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, hal. 628.
[2] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1997), cet, ke-4, jilid VII, hal. 5422.

[3] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri Al-Jina’i Al-Islami, (Bairut: Mu’assah Al-Risalah, 1992), jilid II, hal. 514.
[4] Muhammad Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, (Bairut: Dar Al-Fikr), jilid IV, hal. 158.
[5] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, (Bairut: Maktabbah Ashriyyah, 2005), jilid III, hal. 388
[6] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, (Bairut: Maktabbah Ashriyyah, 2005), jilid III, hal. 389
[7] M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hal. 110.
[8] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri Al-Jina’i Al-Islami, (Bairut: Mu’assah Al-Risalah, 1992), jilid Ii, hal. 518.
[9] M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hal. 114.
[10] Al-Syafi’i, Al-Umm, (Maktabah Al-Kulliyah Al-Azhariyyah, 1961), jilid VII, hal. 265
[11] M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hal. 123.
[12] Baharuddin Lopa, Masalah Kurupsi dan Pencegahanya, (Jakarta: PT Kipas Putih Aksara, 1997), hlm. 54.
[13] Eko Soesamto, Mengenali dan Memberantas Kurupsi, (Jakarta: KPK, tth), hlm. 23-24.
    [14][14] http://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/03/27/tindak-pidana-korupsi-ditinjau-dari-fiqh-jinayah-dan-hukum-positif-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar