fiqih
jinayah: pencurian, perampokan dan korupsi
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara garis besar pembahasan hukum pidana Islam dapat
dibedakan menjadi dua. Ada yang menyebutnya fiqih jinayah dan ada pula yang
menjadikan fiqih jinayah sebagai sub bagian yang terdapat dibagian akhir isi
sebuah kitab fiqih atau kitab hadist yang corak pemaparanya seperti kitab
fiqih.
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah yang tindak pidana, objek
kajian fiqih jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu : pertama,
ar-rukn al-syar’i unsur formil. Kedua, al-rukn al-madi’ atau unsur materil dan
yang ketiga, al-rukn al-adabi atau unsur moril.
Itulah objek utama kajian fiqih jinayah jika dikaitkan
dengan unsur-unsur tindak pidana atau arkan al-jarimah. Sementara itu, jika
dikaitkan dengan materi pembahasan Jarimah Sariqah, Jarimah Hirabah dan Jarimah
Korupsi. Dua dari pembahasan itu termasuk kedalam al-rukn al-syar’i dan satunya
adalah ar-rukn al-madi’(korupsi).
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi rumusan
masalah kepada tiga permasalahan pokok masalah:
1. Apa yang Dimaksud dengan Sariqah?
2. Apa Sajakah syarat-syarat Jarimah
Sariqah?
3. Berapakah Nisab Barang Curian?
4. Apa yang Dimaksud dengan Jarimah?
5. Sanksi apa saja yang Diberikan untuk
Pelaku Jarimah?
6. Apa yang Dimaksud Kurupsi?
7. Bagaimana jarimah korupsi
C. Metode Penulisan
Adapun
metode penulisan pada makalah ini menggunakan metode kepustakaan yang mengambil
dari berbagai sumber seperti buku dan internet untuk dijadikan referensi, dan
yang berkaitan pada masalah pokok pembahasan.
BAB
II
PEMBAHSAN
1. PENCURIAN (SARIQAH)
A. Pengertian Sariqah
Menurut
bahasa sariqah adalah bentuk masdar dari kata سَرَقَ - يَسْرِق – سَرَقــًا dan secara etimologis berarti أَخَذَ مَـالَهُ خُفْيَةً وَ حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang
secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya. Sementara itu, secara etimoligis definisi sariqah
dikemukakan oleh beberapa ahli berikut:
1. Wahbah Al-Zuhaili: “Sariqah ialah mengambil hara
milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk
menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam katagori
mencuri adalah mencuri informasi dan pandangan jika dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi”.
2. Abdul Qadir Audah: “Ada dua macam sariqah menurut
syariat islam, yaitu sariqah yang diancam dengan had dan sariqah yang diancam
dengan ta’zir, sariqah yang diancam dengan had dibedakan menjadi dua, yaitu
pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil ialah mengambil harta
milik orang lain secara diam-diam. Sementara itu, pencurian besar ialah
mengambil hak orang lain dengan kekerasan. Pencurian jenis ini juga disebut
perampokan”.
3. Muhammad Al-Khatib As-Sarbini: “Sariqah ialah mengambil harta
orang lain secara sembunyi-sembunyi dan dzalim, diambil dari tempat
penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat”.
Dari beberapa definisi sariqah diatas, dapat disimpulkan
bahwa sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara
sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk
menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.
Jenis pencurian itu bertingkat-tingkat. Kalau diurutkan dari
tingkat terendah sampai tertinggi berdasarkan cara melakukannya adalah
penjarahan, pejambretan, perampasan dan perampokan.
B. Dalil, Nisab Barang Curian dan
Sanksi Terhadap Pencuri
Ulama menyatakan bahwa pencurian termasuk salah satu dari
tujuh jarimah hudud. Hal ini sejalan dalam firman Allah SWT:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
Artinya:
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. ( QS. Al-Ma’idah (5):
38)
Di dalam ayat ini Allah menyatakan secara tegas bahwa
laki-laki pencuri dan perempuan pencuri harus dippotong tanganya. Ulama telah
sepakat dengan hal ini, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal
(nisab) barang curian dan tangan sebelah mana yang harus dipotong.
Sejak zaman jahiliah pencuri telah diancam dengan hukuman
potong tangan. Orang pertama yang memberi keputusan hukuman ini adalah Al-Walid
bin Al-Mughirah. Kemudian Allah memerintahkan untuk memberlakukan hukuman ini
dalam islam. Laki-laki pencuri pertama yang tangannya dipotong oleh Rasulullah
adalah Al-Khiyar bin Adi bin Naufal bin Abdi Manaf. Perempuan pencuri yang pertama dipotong tangan oleh Rasulullah
adalah Murrah binti Sufyan bin Abdi Al-Asad dari bani Mahzum. Abu bakar pernah
memotong tangan Ibnu Samurah, saudara Abdurahman bin Samurah. Hal ini telah
disepakati bersama sepintas ayat ini bersifat umum setiap pencuri harus
dipotong tangan. Akan tetapi ternyata tidak demikian, sebab terdapat sabda
Rasulullah SAW beliau bersabda bahwa pencuri akan dipotong tangan apabila
pencuri jika harganya seperempat dinar atau lebih.
Jadi jelaslah bahwa hukuman ini hanya berlaku pada sebagian
pencuri, bukan setiap pencuri. Pencurian kurang dari seperempat dinar tidak
terkena hukuman potong tangan. Inilah pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thallib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits, As-Syafi’i dan Abu
Saur. Imam Malik berkata: “tangan pencuri dipotong juga karena mencuri
seperempat dinar atau tiga dirham. Kalu mencuri sesuatu seharga dua dirham yang
senilai seperempat dinar, karena selisih nilai tukarnya, tangan pencuri tersebut
tidak boleh dipitong.
Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai nisab. Setelah mereka
mengisyaratkan (harus mencapai nisab) bagi pencuri yang harus dihukum potong
tangan, muncul keberagaman pendapat:
a.
Abu
hanifah dan dua orang sahabat (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan As-Syaibani)
berpendapat bahwa tangan pencuri tidak harus dipoton, kecuali ia mencuri
sesuatu senilai sepuluh dirham, baik berupa takaran, uang dinar, maupun
timbangan.
b. Fuqaha Hijaj, As-Syafi’i: nisab
barang curian yang harus dipotong yaitu seperempat dinar atau tiga dirham.
Dan adapun pendapat yang benar adalah apa yang dikemukakan
As-Syafi’i dan ulama-ulama yang bersependapat dengannya, karena Nabi Muhammad
SAW menyebutkan tentang nisab sebesar seperempat dinar. Dalam beberapa hadis
dengan berbagai redaksinya. Oleh karena itu, semua informasi yang berbeda
dengan ukuran ini tidak dapat diterima, sebab bertentangan dengan hadist-hadis
tersebut.
Untuk dapat mengatahui nilai tiga dirham dalam kurs rupiah,
terlebih dahulu harus mengukur dengan dolar Ameriks Serikat. Satu dolar Amerika
Serikat sama dengan 5,7 pound Mesir. Dengan demikian, tiga puluh pound Mesir
sama dengan 10,52 dolar Amerika Serikat. Jika satu dolar Amerika Serikat 9,500
rupiah, maka 10,52 dolar Amerika Serikat sama dengan 99.940 rupiah dan dapat
dibulatkan menjadi 100.000 rupiah. Inilah perkiraan seperempat dinar atau tiga
dirham, yaitu 100.000 rupiah.
C. Syarat dan rukun Jarimah Sariqah
Dalam memberlakukan hukumpotong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek
yang berkaitan dengan syarat dan rukunya. Dalam masalah ini Shalih Sa’id
Al-haidan, dalam bukunya Hal Al-Muttaham fi Majlis Al-Qada mengemukakan lima
syarat untuk dapat diberlakukannya hukum ini, yaitu sebagai berikut.
1. Syarat Jarimah Sariqah
a.
Pelaku
telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya gila, anak kecil, belum baligh
dan orang yang dipaksa maka tidak dapat dihukum dan dituntut.
b. Pencurian tidak dilakukkan karena
pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan. Comtohnya dalam kasus seorang hamba
sahaya milik hatib bin Abi Balta’ah yang mencuri dan menyembelih seekor unta
milik seseorang yang akhirnya dilaporkan kepada Umar bin Khattab. Namun Umar
bin Khattab justru membebaskan pelaku karena terpaksa melakukannya.
c.
Tidak
terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak mencuri
harta ayahnya dan sebaliknya.
d. Tidak terdapat unsur syubhat dalam
hal kepemilikan, seperi harta yang dicuri itu menjadi hak bersama antara
pencuri dan pemilik.
e.
Pencurian
tidak terjadi saat peperangan di jalan Allah. Pada saat seperti itu, Rasulullah
tidak memberlakukkan hukuman poong tangan. Meskipun demikian, jarimah ini dapat
diberikan sanksi dalam bentuk lain, seperti dicambuk atau dipenjara.[8][8]
a.
Mengambil
secara sembunyi-sembunyi.
hal ini harus memenuhi tiga syarat
seperti penjelasan berikut.
Proses pengambilan ini harus
sempurna, tidak cukup hanya dengan adanya pelaku yang berada didekat barang
curian. Perihal pengambilan barang orang lain ini harus memenuhi tiga syarat.
Pertama, pencuri mengambil barang curian itu dari tempat penyimpanan. Kedua,
barang curian itu dikeluarkan dari pihak korban. Ketiga, barang curian
berpindah tangan dari pihak korban kepada pihak tersangka. Jadi kalau
syarat-syarat yang tiga ini tidak terpenuhi, maka hukum potong tangan ini tidak
berlaku, dan si pelaku hanya dikenakan ta’zir saja.
b. Barang yang diambil berupa harta.
Sebagaimana peryataan yang telah
dikemukakkan oleh Abdul Qadir Audah: Harta yang dicuri harus memenuhi beberapa
syarat agar pelaku dapat dihukum potong tangan. Syarat-syarat yang dimaksud
adalah pertama, berupa harta yang bergerak. Kedua, berupa benda yang berharga.
Ketiga, harus mencapai nisab
c.
Harta yang
diambil merupakan milik orang lain
d. Melawan hukum
Mengenai hal ini, Abdul Qadir Audah
berpendapat sebagai berikut:
Mengambil secara sembunyi-sembunyi
tidak dapat dianggap sebagai pencuri kecuali ada didalam benak si pelaku
terdapat unsur melawan hukum. Sikap melawan hukum ini dapat terjadi pada saat
pelaku mengambil harta orang lain, padahal ia tau bahwa perbuatan itu
diharamkan.
2. Perampokan (Hirabah)
A. Pengertian Perampokan
Hirabah adalah bentuk masdar dari kata حَرَبَا- يُحَارِبُ- مُحَارَبَةً-
حَرَابَةً yang
secara etimologis berarti قَـاتَلَهُmemerangi atau dalam kalimat حَرَبَ اللهُ berarti seseorang bermaksiat kepada
Allah. Adapun secara terminoligis banyak pendapat mengenai hal ini:
1. Imam Syaf’i dalam kitabnya Al-Umm:
Hirabah adalah mereka yang melakukan penyerangan yang membawa senjata kepada
sebuah komunitas orang, sehingga para pelaku merampas harta kekayaan mereka di
tempat-tempat terbuka secara terang-terangan.
2. Muhammad Abu Zahrah: Hirabah adalah
keluar unuk menyerang dan merampas harta benda yang dibawa oleh pengguna jalan
dengan cara memakaksa, sehingga mereka terhalang-halangi dan tidak bisa lewat
karena jalanya terputus. Hal ini bisa jadi dilakukkan secara berkelompok
ataupun individu yang jelas mereka memiliki kemampuan untuk memutus jalan. Baik
dilakukan dengan mengunakan senjata, pedang, tongkat, batu, kayu dan lain-lain.
3. As-Sayyid Sabiq dlam kitabnya Fiqih
Sunnah: Hirabah adalah sekelompok orang yang menandang senjata di negri Islam
dengan tujuan mengacaukan, pertumpahan darah, perampasan harta kekayaan,
merusak kehormatan, merusak tumbuh-tumbuhan dan membunuh hewan-hewan. Semuanya
dilakukan melanggar agama, akhlaq, peraturan dan hukum.
4. Abdul Qadir Audah: bahwa perampokan
berbeda dengan pencurian. Perbedaanya adalah cara yang dilakukan. Pencurian
dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi sedangkan perampokan dilakukan dengan
cara terang-menerang dan disertai dengan kekerasan.
Dan dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa harabah
adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang
kepada pihak lain, baik dilakukan di rumah maupun diluar rumah untuk menguasai
harta orang lain dan membunuh korban untuk menakut-nakuti.
B. Dalil dan Sanksi Terhadap Perampok
Dalil naqli tentang perampokan disebutkan secara tegas di
dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ
يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ
يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ
خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا
وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ. إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Artinya:
“sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau poong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang
dari negri (tempat kediaaman). Yang demikain itu (sebagai) suatu penghinaan
terhadap mereka di dunia dandi akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
kecuali orang-orang yang taubat(di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka: maka ketauhilah bahwasahnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS. Al-Ma’idah (5): 33-34)
عَنْ أَنَسِ بْنِ ماَ لِكٍ أَنَّ ناَ
ساً مِنْ عُرَيْنَةَ قَدِمُوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
اَلْمَدِيْنَةَ فَاجْتَوَوْهَا فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
إِنْ شِئْتُمْ أَنْ تَخْرُجُوْا إِلَى اْلإِبِلِ الصَّدَقَةِ فَتَشْرَبُوْا مِنْ
أَلْبَنِهَا وَأَبْوَالِهَا فَفَعَلُوْا فَصَحَّوْا ثُمَّ مَالُوْ عَلَى
الرُّعَاةِ فَقَتَلُهُمْ وَارْتَدُّوْا عَنْ الإِسْلَامِ وَسَاقُوْا ذَوْدَ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
فَبَعَثَ فِى أَثَرِهِمْ فَأُتِيَ بِهِمْ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأرْجُلَهُمْ
وَسَمَلَ أَعْيُنَهُمْ وَتَرَكَهُمْ فِى اْلحَرَّةِ حَتَّى مَــاتُوْ.
Artinya:
“Dari Annas bin Malik bahwasahnya ada sekelompok orang dari suku urainah
yang memasuki kota Madinah unuk bertemu dengan Rasulullah SAW mereka lalu sakit
karena tidak cocok dengan cuaca kota Madinah. Rasulullah SAW bersabda kepada
mereka, “Jika kalian ingin berobat, sebaiknya kalian menuju ke suatu tempat
yang di sana yang terdapat beberapa unta yang berasal dari sedekah. Kalian dapat
meminum air susunya dan air seninya”. Mereka melakukan apa yang diperintahkan
Nabi dan mereka pun sembuh. Setelah iu, mereka mendatangi orang-orang yang
mengembalakan lalu membantai para pengembala. Mereka lalu murtad dan menggiring
(merampok) beberapa ekor unta milik Rasulullah SAW. Hal ini didengar oleh
beliau. Beliau pun mengutus pasukan untuk mengajar. Seelah tertangkap, mereka
didatangkan kepada Rasulullah SAW, lalu beliau memotong tangan-tangan dan
kaki-kaki mereka. Mata mereka dicungkil dan diinggalkan di bawah terik matahari
sampai akhirnya meninggal”. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan An-Nasa’i).
Mengenai
hadis diatas Imam Nawawi berkomentar:
Ulama berbeda pendapat mengenai makna hadis Al-Uraniyyin
ini. Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa hadist ini terjadi sebelum turun
ayat tentang hudud. Sementara itu, ayat tentang perampokan dan larangan
memutilasi telah terhapus, tetapi konon hal itu tidak terhapus. Mengenai kasus
Al-Urainiyyin ini, turunlah ayat tentang sanksi perampokan. Sesungguhnya Nabi
mengqishah mereka karena mereka memperlakukkan para pengembala dengan tindakan
yang sama.
Kelompok lainya berpendapat para pelaku dikenai sanksi had
tertentu sesuai dengan tindakan mereka. Orang yang hanya meneror di jalan dan
merampas harta maka sanksinya dipotong tangan dan kakinya secara bersilang:
tentu jika anggota badanya normal, agar tidak dapat digunakan. Kemuadian
sebagian ulama berpendapat bahwa untuk menentukan sanksi potong tangan,
haruslah mencapai nisab pencurian, tetapi sebagian yang lain tidak mengisyaratkan
seperti itu.
Jika pelaku mengambil harta dan membunuh korban maka
sanksinya berupa dipotong tangan dan kakinya, lalu disalib. Dan apabila pelaku
membunuh korban, tetapi tidak mengambil harta korban maka hukumanya berupa
hukuman mati sebagai had, bukan sebagai qishas. Karena qishas tidak dapa
dibatalkan lanaran dimaafkan oleh pihak keluarga korban. Demikian halnya
persyaratan dalam pemberlakuan qishash juga tidak berlaku di sini, sebab ang
terjadi di sini adalah kewajiban memberlakukan had sebagai balasan atas sikap
pelaku yang menentang Allah dan Rasul-Nya.
3.
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Tindak Pidana
Korupsi
Korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio
atau corruptus, yang disalin ke berbagai bahasa. Istilah corruptio
diserap dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt,
sedangkan dalam bahasa Belanda terbentuk kata corruptie (korruptie).
Dari istilah bahasa Belanda inilah yang kemudian dipakai oleh orang Indonesia
dalam penyebutan istilah korupsi. Secara harfiah, korupsi ialah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Korupsi menurut ahli, Syed Hussein Alatas, menegaskan bahwa esensi
korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati
kepercayaan.
Dalam bahasa Arab, korupsi disebut juga dengan risywah,
yang berarti penyuapan. Suap diartikan sebagai hadiah, penghargaan, pemberian,
atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak
pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan
terpercaya (sebagai pejabat pemerintah). Dalam kitab Hâsyiah Ibn
‘Abidin, suap (risywah) dipahami sebagai sesuatu yang
diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah, atau lainnya supaya orang
itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.
B.
Sebab-sebab Terjadinya Korupsi
Adapun beberapa sebab terjadinya kurupsi di Indonesia. Awalnya
disebabkan karena kondisi sosial ekonomi yang rawan sehingga orang melakukan
korupsi dengan motif mempertahamkan hidupnya. Akan tetapi kian lama motif ini
kian bergeser menjadi motif ingin memperoleh kekayaan dan kemewahan hidup.
Penyebab lainya adalah berupa kelemahan makanisme organisasi dan tidak
dilaksanakanya fungsi pengawasan secara wajar. Menurut Baharuddin lopa, hal ini
akan mendorong seseorang yang tidak mempunyai iman yang kuat akan melakukan
tindakan korupsi.
Beberapa faktor lainya adalah berupa penegakan hukum yang tidak konsisten,
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, langkahnya lingkungan yang antikorup,
rendahnya pendapatan penyelenggaraan negara, kemiskinan dan keserakahan, budaya
memberi upeti, imbalan dan hadiah, konsekuensi bila ditangkap lebih rendah
daripada keuntungan kurupsi serta gagalnya pendidikan agama dan etika.
Dengan demikian, faktor penyebab korupsi secara umum dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal berkaitan dengan pelaku kurupsi sebagai penegang amanat berupa
jabatan dan wewenang yang dibawanya. Sedangkan faktor eksternal berupa sistem
pemerintahan dan kepemimpinan serta pengawasan yang tidak seimbang sehingga
bisa membuka peluang terjadinya kurupsi.
C. Sanksi atau Uqubah Tindak Pidana Korupsi
Dalam fiqh jinayah, memang tidak ada nash yang secara khusus
mencatat dengan jelas sanksi dari perbuatan korupsi. Islam mengkaitkan
perbuatan korupsi ini diidentifikasi dengan beragam bentuknya seperti ghulul
(penggelapan), risywah (suap), ghasab (mengambil hak secara
paksa), khiyanat (pengkhianatan), dan sariqah (pencurian).
Ketentuan perbuatan-perbuatan tersebut, kecuali sariqah, tidaklah
termasuk dalam hukuman hudud, sehingga hukuman akan diganti dengan hukuman
ta’zir. Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi
adalah; penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan
(dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman
cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî
berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang
banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup).
Sanksi yang diterapkan terhadap tindakan ghulul pada zaman
Rasulullah saw lebih ditekankan pada sanksi moral. Pelaku ghulul akan
dipermalukan di hadapan Allah kelak pada hari kiamat. Dengan kata lain, bahwa
perbuatan ini tidaklah dikriminalkan, melainkan hanya dengan sanksi moral
dengan ancaman neraka sebagai sanksi ukhrawi. Ini lantaran pada saat itu,
kasus-kasus ghulul hanya merugikan dengan nominal yang sangat kecil,
kurang dari tiga dirham. Mungkin saja akan berbeda seandainya kasus ghulul
memakan kerugian jutaan hingga miliaran rupiah, pasti akan ada hukuman fisik
yang lebih tegas untuk mengatasinya.
Sanksi risywah tidaklah jauh berbeda dengan sanksi bagi
pelaku ghulul. Abdullah Muhsin al-Thariqi mengemukakan bahwa sanksi
hukum pelaku risywah (suap) tidak dijelaskan secara jelas oleh Al-qur’an
dan hadits, mengingat bahwa sanksi risywah masuk dalam kategori sanksi
ta’zir yang kekuasaannya berada di tangan hakim. Untuk menentukan jenis sanksi
yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan sejalan dengan prinsip untuk
memelihara stabilitas hidup bermasyarakat sehingga berat dan ringannya sanksi hukum
harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan.
Dalam dalil-dalil manapun tidak ditemukan sanksi yang jelas bagi
pelaku ghasab. Namun Imam al-Nawawi mengklasifikasikan jenis sanksi bagi
pelaku ghasab yang dikaitkan dengan kondisi barang sebagai objek ghasab
menjadi tiga kategori, yakni barang yang dighasab masih utuh seperti semula,
barang ghasab telah lenyap, dan barang ghasab berkurang.
Masing-masing hukumannya sama-sama menerangkan bahwa pelaku harus mengembalikan
barang-barang ghasab secara utuh kepada pemilik aslinya apabila tidak
demikian, maka petugas berwenang mengambil alih dengan memberikan hukuman
ta’zir/ta’dib kepada pelaku.
Hukuman bagi pelaku korupsi dalam perundangan-undangan Indonesia
telah diatur secara jelas dan lengkap, yakni dalam Undang-Undang No.31 Tahun
1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Ancaman hukuman bagi pelakunya, baik itu suap, gratifikasi, dan
lain-lain, akan dikenakan hukuman penjara dan/atau denda. Bahkan dalam
ketentuan khususnya, apabila korupsi dilakukan dengan mengakibatkan bahaya bagi
negara, seperti terjadi bencana nasional atau pada saat negara dalam keadaan
krisis ekonomi, maka dapat diancam hukuman mati.
Hukuman bagi pelaku suap dapat dikerat Pasal 5 Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi dengan rincian hukuman dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Sedangkan hukuman penggelapan dapat dijerat Pasal 8 undang-undang
tersebut dengan rincian hukuman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Apabila pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugasi
menjalankan jabatan umum melakukan pemalsuan administrasi pembukuan maka
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Hingga pada perbuatan gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara, dengan ketentuan yakni nominal uang korupsinya mencapai
Rp.10.000.000,- maka diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut bahasa sariqah adalah bentuk masdar dari kata سَرَقَ - يَسْرِق – سَرَقــًا dan secara
etimologis berarti أَخَذَ مَـالَهُ خُفْيَةً وَ حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan
dengan tipu daya.
sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara
sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk
menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.
Di dalam ayat Allah
menyatakan secara tegas bahwa laki-laki pencuri dan perempuan pencuri harus
dippotong tanganya. Ulama telah sepakat dengan hal ini, tetapi mereka berbeda
pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang curian dan tangan sebelah mana
yang harus dipotong. Dan adapun nisab barangnya adalah tiga dinar atau empat
dirham.
harabah adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh
seseorang ataupun sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di rumah
maupun diluar rumah untuk menguasai harta orang lain dan membunuh korban untuk
menakut-nakuti.
Jika pelaku mengambil harta dan membunuh korban maka
sanksinya berupa dipotong tangan dan kakinya, lalu disalib. Dan apabila pelaku
membunuh korban, tetapi tidak mengambil harta korban maka hukumanya berupa
hukuman mati sebagai had, bukan sebagai qishas.
Korupsi disebut juga dengan risywah, yang berarti
penyuapan. Suap diartikan sebagai hadiah, penghargaan, pemberian, atau
keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak
pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan
terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).
Daftar Pustaka
Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Cetakan XIV. Pustaka Progresif .
Zuhail, Wahbah. 1997. Al-Fiqh AL-Adilah. Jilid VII. Bairut:
Dal Al-Fikr
Qadir Audah, Abdul. 1992. Mu’assah Al-Risalah. Jilid II.
Bairut: Dal Al-Fikr.
Al-Khatib, Muhammad. Mughni Muhtaz. Jilid IV. Bairut: Dal
Fikr
Nurul Irfan, Muhammad. Fiqh Jinayah. 2013. Fiqh Jinayah.
Jakarta: Bumi Aksara
Al-Qurthubi, Abu Abdullah bin Ahmad Al-Anshari. Al-Jami’
Al-Ahkam Al-Qur’an. Bairut: Maktabah Ashariyah.
http://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/03/27/tindak-pidana-korupsi-ditinjau-dari-fiqh-jinayah-dan-hukum-positif-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar