KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
berkat limpahan karunia, rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyusun makalah ini
sehingga selesai pada waktunya.Makalah yang berjudul “Hubungan Agama dan
Negara” ini disusun dan dibuat berdasarkan materi yang sudah ada. Selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah pendidikan kewarganegaraan, pembuatan makalah ini
bertujuan agar dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Kami
mengharapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.Ucapan
terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung
dalam penyusunan makalah ini. Akhir kata, kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Oleh
karena itu, diharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Cirebon, Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................
Daftar Isi .....................................................................................................................
BAB I Pendahuluan..................................................................................................
Latar
Belakang...............................................................................................
Rumusan
Masalah..........................................................................................
Tujuan.............................................................................................................
BAB II Pembahasan....................................................................................................
Apa itu Agama?.............................................................................................
Apa itu Negara?.............................................................................................
Apa itu Negara?.............................................................................................
Macam-macam Konsep hubungan agama
dan negara....................................
Konsep
relasi agama dan negara....................................................................
Hubungan agama dan negara menurut
Islam.................................................
BAB III Penutup..........................................................................................................
Kesimpulan.....................................................................................................
Saran...............................................................................................................
Saran...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di
Indonesia masalah issu negara dan agama adalah masalah yang “sensitif’ jika di
perdebatkan. Titik temu dalam keduanya sangat penting, salah sedikit saja bisa
menimblkan konflik dan bahaya pertahanan suatu bangsa. Apalagi Bangsa Indonesia
yang banyak memiliki keaneragaman agama dan budaya. Dalam kalangan kaum
muslimin sendiri, terdapat kesepakatan bahwa existensi negara adalah suatu
keniscayaan bagi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat.
Artinya,
menurut Husain Muhammad (2000 :88), negara diperlukan untuk mencapai tujuan
yang dicita-citakan masyarakat manusia secara bersama-sama. Negara dengan
otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan antara masyarakat. Sedangkan
agama mempunyai otoritas untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhanya.
Hubungan
antara agama dan negara menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan
dikalangan para ahli. Pada hakikatnya, negara merupakan suatu persekutuan hidup
bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial. Oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan
sifat dasar negara pula, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia
secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai
tujuan bersama. Dengan demikian, negara memiliki sebab akibat langsung dengan
manusia karena manusia adalah pendiri negara itu sendiri ( Kaelani, 1999:
91-93)
Perlu
disadari bahwa manusia sebagai warga negara, adalah juga makhluk sosial dan
makhlk Tuhan. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebebasan untuk
memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaannya. Namun, sebagai makhluk
Tuhan, manusia juga mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepadanya dalam bentuk
penyembahan atau ibadah yang diajarkan oleh agama atau keyakinan yang
dianutnya. Hal-hal yang berkaitan dengan negara adalah manifestasi dari
kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan Tuhan yang tertuang dalam ajaran
agama adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karena itu ada benang emas yang menghubungkan antara agama dan negara.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Negara?
2. Apa itu Agama?
3. Macam-macam Konsep hubungan agama
dan negara.
4. Konsep relasi agama dan negara.
5. Hubungan agama dan negara menurut
Islam.
C.
Tujuan
1. Memahami pengertian negara
2. Memahami pengertian agama
3. Memahami hubungan negara dan agama
serta konsep-konsep hubungan keduanya
4. Memahami agama dan negara menurut
Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Apa itu Agama?
Agama adalah
sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan
dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak
agama memiliki narasi,
simbol,
dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul
kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang
memperoleh moralitas, etika,
hukum agama atau gaya
hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di
dunia.
Banyak agama yang mungkin telah
mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan
kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama
juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau
dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan
pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek
lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi.
Kata agama kadang-kadang digunakan
bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas;
Namun, dalam kata-kata Émile
Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu
adalah "sesuatu yang nyata sosial"Émile
Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang
terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal
yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus
meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang
sempurna kesuciannya. Sebuah jajak pendapat global 2012 melaporkan bahwa 59%
dari populasi dunia adalah beragama, dan 36% tidak
beragama, termasuk 13% yang ateis, dengan penurunan 9
persen pada keyakinan agama dari tahun 2005. Rata-rata, wanita lebih religius
daripada laki-laki. Beberapa orang mengikuti beberapa agama atau beberapa
prinsip-prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah atau tidak
prinsip-prinsip agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk
terjadi unsur sinkretisme.
B. Apa itu Negara?
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau
aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara
independent. Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki
wilayah dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah
mendapat pengakuan dari negara lain.
Kata "negara" dipakai beberapa ahli untuk merujuk
pada negara berdaulat. Tidak ada kesepakatan khusus
mengenai jumlah negara di dunia, karena ada beberapa negara yang masih
diperdebatkan kedaulatannya. Ada total 206 negara, dengan 193 negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan 13 lainnya yang kedaulatannya diperdebatkan. Meskipun
bukan negara berdaulat, Inggris, Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara (yang tergabung dalam Britania Raya) adalah contoh entitas yang
disepakati dan dirujuk sebagai negara. Bekas negara lainnya seperti Bavaria (kini bagian dari Jerman) dan Piedmont (kini bagian dari Italia) tidak akan dirujuk sebagai
"negara" dalam kondisi normal, walaupun mereka pernah menjadi sebuah
negara yang berdiri sendiri di masa lalu.
C.
Macam-macam konsep hubungan agama
dan negara.
Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa
konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran/ paham, antara lain :
1. Paham
teokrasi.
Dalam paham teokrasi, hubungan agama
dan negara digambarkan sebagai dua (2) hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara
menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dan masyarakat, bangsa
dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Urusan kenegaraan atau politik diyakini
sebagai manifestasi firman Tuhan.
Dalam
perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua (2) bagian, yakni paham
teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi
langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung. Adanya
negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan. Dan oleh karena itu yang
memerintah adalah Tuhan pula. Sedangkan menurut paham teokrasi tidak langsung,
yang
memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan raja atau kepala negara yang
memiliki otoritas (kekuasaan) atas nama Tuhan.
2. Paham sekuler.
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama
dan negara. Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistim kenegaraan dengan
agama. Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan
dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini
menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam negara sekuler, sistim dan
norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum
ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman
Tuhan, seperti paham teokrasi, meskipun mungkin norma-norma tersebut
bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara
agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga
negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara tidak
intervensif (campur tangan) dalam urusan agama.
3. Paham
komunis.
Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu
kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan
manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat
negara. Agama dipandang sebagai realisasi fantastis (perwujudnyataan
angan-angan) makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas.
Oleh karena itu agama harus ditekan, bahkan dilarang. Nilai yang tertinggi
dalam negara adalah materi. Karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah
materi.
Dalam Islam, hubungan
agama dan negara masih menjadi perdebatan diantara pakar-pakar Islam hingga
kini, yang diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama
(din) dan negara (dawlah) menurut Azra.
Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi
bahwa Islam merupakan sistim kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat
dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia
termasuk bidang politik.
Dari sudut
pandang ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama
dan politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep
hubungan agama dan negara. Antara lain :
1. Paradigma
integralistik.
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama
dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan
pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga
agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama
dan politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam
Syi’ah.
2. Paradigma
Simbiotik.
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan
negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan
negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu
juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara
dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
3. Paradigma
sekularistik.
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan
(disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk
yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi (campur tangan).
D. Konsep relasi agama dan negara
Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini di ilhami oleh
hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai agama(din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai agama(din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
1) Paradigma
integralistik
Agama dan
Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan
dua lembaga yang menyatu dan dinyatakan bahwa negara merupakan suatu lembaga.
2) Paradigma
Simbiotik
Antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang
berbeda. Tetapi saling membutuhkan oleh karenanya, konstitusi yang berlaku
dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa
saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at)
3) Paradigma
Sekularistik
Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan
satu sama lain memiliki dan satu sama lain memiliki garapannya bidangnya
masing-masing. Sehingga keberadaannya harus di pisahkan dan tidak boleh satu
sama lain melakukan intervensi berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini. Maka
hokum positif yang berlaku adalah hokum yang betul-betul berasal dari
kesepakatan manusia.Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia
merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena
penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga
menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam
mengenai hal tersebut maka hubungan agam dan negara dapat digolongkan menjadi 2
:
1.
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik .
Maksud hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya
ketegangan antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar
yang bersekolah di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat
dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan
agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak
mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan,
nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti semua tren- tren
sekuler barat dan
membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.Akibatnya,
aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama
negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai
kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak
dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda.
Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan
kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang
kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah
sintesis yangmemungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir hingga periode
kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan
jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan
legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian
aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih
pada 1967-1987).
Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di
mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam
menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu
memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber
ideologi dalam menjalankan pemerintahan
2. Hubungan Agama
dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama
satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk
mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa
umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara
mengakomodasi islam.Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik
akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI. Sejak pertengahan
tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai
mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif.
Hal ini
ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta
dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar)
masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:
1.
Struktural , yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan
bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.
2. Legislatif ,
misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap
kepentingan Islam.
3.
Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur
yang diperlukan umat
Islam.
4.
Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap
islam yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis
maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam
politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus
diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak
hubungan negara dan Islam politik di Indonesia. Alasan Negara berakomodasi
dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat
diabaikan jikaa hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup
rumit.Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang
tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang
sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya.Ketiga, adanya perubahan
persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan
alas an yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun
terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang
berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi
baru Islam
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat
laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam
Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama
dalam masalah ideologi Pancasila.Sesungguhnya sintesa yang memungkinkan antara
Islam dan negara dapat diciptakan. Artikulasi pemikiran dan praktik politik
Islam yang legalistik dan formalistik telah menyebabkan ketegangan antara Islam
dan negara. Sementara itu
wacana
intelektualisme dan aktivisme politik Islam yang substansialistik, sebagaimana
dikembangkan oleh generasi baru Islam, merupakan modal dasar untuk membangun
sebuah sintesa antara Islam dan negara.
E.
Hubungan agama dan negara menurut
Islam.
Dalam
islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga
kini dianatara para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1996:6), perdebatan
itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa
ini.
Masih
masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hubungan [agama
dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai
agama (din) dan negara (dawlah). Dalam bahasa lain, hubungan antara agama (din)
dengan politik (siyasah) dikalangan umat Islam, terlebih-lebih dikalangan Sunni
yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat Ambigous
atau ambivalen. Hal demikian itu, karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa
pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara.
Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran
praktis dalam politik, sebab seperti itu yang dilihat terdapat ketegangan dan
tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber
dari hubungan yang canggung di atas, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam
pengetian terbatas pada hal – hal yag berkenaan dengan bidang-bidang ilahiyah,
yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada
umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan.
Selain
hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci Al-Qur’an dan Hadits tampaknya juga
merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci
sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini
juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama
dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.
Tentang
hubungan atara agama dan negara dalam Islam, menurut Munawir Sjadzali
(1990:235-236), ada tiga aliran yang menanggapinya. Pertama, aliran yang
menganggap bahwa agama Islam adalalh agama Paripurna, yang
mencangkupsegala-galanya, termasuk masalah – masalah negara. Oleh karena itu,
agama tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan
agama, serta sebaliknya.
Aliran
Kedua, mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam
tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi
Muhammad tidak punya misi untuk mendirikan negara.
Aliran
Ketiga, berpendapat bahwa Islam tidak mencangkup segala-galanya, tapi
mencangkup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat
termasuk bernegara. Oleh karena iti, dalam bernegara, umat Islam harus
mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai dan etika yang diajarkan
secara garis besar oleh Islam.
Sementara
itu, Hussein Muhammad (2000:88-94) menyebutkan bahwa dalam Islam ada dua model
hubungan antara agama dan negara. Model pertama, ia sebut sebagai hubungan
intergralistik, dan yang kedua ia sebut hubungan simbiosis-mutualistik.
Hubungan
integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas, dimana agama dan
negara mempunyai hubungan yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integral). Ini juga
memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali dalam Islam bahwa tidak
mengenal pemisahan agama , politik atau negara. Konsep seperti ini sema dengan
konsep teokrasi.
Model
hubungan kedua adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Model hubungan agama dan
negara model ini, masih menurut Hussein Muhammad (2000:92-94), menegaskan bahwa
antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutukan. Menurut
pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik dan tertib. Hal ini hanya
terlaksana bila ada lembaga yang berma negara. Sementara itu, negara juga tidak
dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan terjadi
kekacauan dan amoral dalam bernegara.
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Manusia beragama karena mereka
memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk
kebahagiaan hidupnya didunia maupun diakhirat. Dengan agama, manusia juga bias
mendapatkan nilai-nilai moral yang universal, dan hal-hal yang tidak dapat
dicapai dengan akalnya semata.
Dan perlu disadari bahwa manusia
sebagai warga Negara, adalah juga makhluk social dan makhluk tuhan. Sebagai
makhluk social manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan
kodrat kemanusiaanya. Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia mempunyai kewajiban
untuk mengabdi kepada-Nya dalam bentuk penyembahan atau ibadah yang diajarkan
oleh agama atau keyakinan yang dianutnya.
2.Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun,
penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kesan kekurangan dan jauh dari
kesan sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan membahasnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara
DR. Dede Rosyada, MA. (2000). pendidikan kewarganegaraan,jakarta.
Thaba,Abdul Aziz. (1996). Islam dan Negara, Jakarta : Gema
Insani Press.
Bachtiar Effendi. (1998). Islam
dan Negara, Jakarta : Paramadina.
Sjadzali, Munawir. (0991).Islam
dan Tata Negara, Jakarta : UI Press.
DR.
Dede Rosyada, MA., pendidikan kewarganegaraan,jakarta 2000. Hlm. 124.http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2012/11/konsep-hubungan-agama-dan-negara.html
http://suhendarsyahalfian.blogspot.com/2013/05/hubungan-agama-dan-negara.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar