1. Pembahasan ilmu kalam
1. Dasar-dasar Qur’an dan Sejarah Kemunculan
Persoalan-persoalan Kalam
a) Nama Dan Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama,
antara lain : ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi Islam.
Ilmu Kalam yakni ilmu yang membahas berbagi
masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat, secara
teoritis aliran salaf tidak bisa di masukkan ke dalam aliran ilmu kalam, karena
aliran ini dalam masalah-masalah ketuhanan tidak menggunakan argumentasi logika
dan filsafat.
b) Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Sumber-sumber Ilmu kalam adalah berikut ini:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang
berkaitan dengan masalah ketuhanan,diantaranya dalam Q.S Al-Ikhlas
(122):3-4.ayat ini menunjukan bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak pula di
peranakkan, serta tidak ada sesuatupun di dunia ini yang tampak sekutu
(sejajar) dengan-Nya.
Banyak ayat yang berkaitan dengan dzat, sifat,
asma, perbuatan, tuntunan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan.
Hanya saja penjelasan rincinya tidak di temukan. Oleh sebab itu,para ahli
berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rincihannya. Pembicaraan tentang
hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan itu disistematisasikan yang pada
gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
2. Hadit’s
Hadit’s Nabi SAW.pun banyak membicarakan
masalah-maslah yang dibahas ilmu kalam. Di antaranya adalah hadits Nabi yang
menjelaskan hakikat keimanan,ada juga beberapa hadit’s yang di pahami oleh
sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan
dalam ilmu kalam,
Syeikh Abdul Qadir mengomentari bahwa hadit’s
yang berkaitan dengan masalah faksi umat ini,yang merupakan salah satu kajian
ilmu kalam memiliki banyak sanad. Di antara sanad yang sampai kepada Nabi
adalah yang berasal dari beberapa sahabat, seperti Anas Bin Malik, Abu
Hurairah, Abu Ad-Darda, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi Kaab, Abdullah bin
Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, dan Watsilah bin Al-Aqsa.
Ada pula riwayat yang hanya sampai kepada
sahabat. Di antaranya adalah hadits yang mengatakan bahwa umat islam akan
terpecah belah ke dalam beberapa golongan,di antara golongan-golongan itu hanya
satu yang benar,sedangkan yang lainnya sesat. Keberadaan Hadits tersebut pada
dasarnya merupakan prediksi Nabi dalam melihat yang tersimpan dalam hati para
sahabatnya. Oleh sebab itu,sering dikatakan bahwa Hadits-hadits seperti itu
lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat Nabi tentang
bahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan.
3. Pemikiran Manusia
Pemikiran manusia,baik berupa pemikiran umat
islam ataupun pemikirab yang berasal dari luar umat islam.
Sebelum filsafat Yunani masuk dan berkembang
di dunia islam,umat islam telah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan
hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat
Al-Qur’an, terutama yang belum jelas maksudnya.keharusan dalam menggunakan
rasio ternyata mendapat pijakan dari beberapa ayat Al-Qura’an,di antaranya:
(Q.S Muhammad [47];24) yang artinya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan
Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.”
4. Insting
Secara instingtif, manusia selalu ingin
bertuhan. Oleh sebab itu kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya
manusia pertama.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa
secara historis,ilmu kalam bersumber pada Al-Qur’an, hadits, pemikiran manusia
dan insting. Ilmu Kalam adalah ilmu yang mempunyai objek tersendiri,
tersistematiskan dan mempunyai meteodologi sendiri.
c) Sejarah Kemunculan Persoalan-persoalan Kalam
Menurut Harun Nasution,kemunculan persoalan
kalam di picu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan
Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal
menjadi perang siffin yang berakhir dengan putusan tahkim (arbritase).
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat
Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam
keadaan terpaksa tidak disetujui sebagian tentaranya. Mereka berpendapat
keputusan tidak dapat diputuskan melalui
tahkim. Mereka memandang Ali telah berbuat salah sehingga mereka keluar dari
barisannya. Dalam sejarah islam mereka dikenal dengan nama khawarij dan ada
pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali,mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan
kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang
bukan kafir. Khawarij menyebutkan bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa
tahkim adalah kafir.
Persoalan
ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam,yaitu:
1) Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar
adalah kafir dalam arti telah keluar dari islam,atau tegasnya murtad dan wajib
dibunuh.
2) Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa
besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya,
hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3) Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas.
Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin.
Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya
terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Dalam Islam,timbul pula dua aliran teologi
yang terkenal dengan nama Qodariyah dan Jabariyah. Menurut Qodariyah, manusia
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah,
berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak
dan perbuatannya.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional
mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan
Hanbali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibnu Hanbal. Mereka yang menentang ini
kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori oleh Abu
Al-Hasan Al- Asy’ari (935 M). Di samping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu
aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini
didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w.944 M). Aliran ini kemudian
terkenal denngan nama teologi Al-Maturidiyah.
Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, dan
Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih
ada sampai sekarang adalah aliran Asy’ariyah dan Maturiidiyah yang keduanya
disebut Ahlussunnah wal-jama’ah.
2. Kerangka Berfikir Aliran-Aliran Ilmu Kalam
Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada
dasarnya merupakan kerangka berfikir dan proses
pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam.
Perbedaan pendapat didalam objek maslah
teologi sebenarnya berkaitan erat dengan cara (metode) berpikir aliran-aliran
ilmu kalam dalam menguraikan objek pengkajian (persoalan-persoalan kalam).
Perbedaan metode berpikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua
macam,yaitu kerangka berpikir rasional dan metode berpikir tradisional.
Teologi rasional, memberikan peranan yang
besar terhadap akal. Dalam pandangan teologi ini, akal dapat mengetahui Tuhan,
baik dan jahat, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Adapun
teologi tradisional memberikan peranan yang kecil terhadap akal. Dari empat hal
yang telah disebutkan di atas, hanya mengetahui Tuhanlah yang dapat dijangkau
akal, selebihnya diketahui wahyu.
Dikenal juga pengkategorian akibat adanya perbedaan
kerangka berpikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam:
1)
Aliran
Antroposentris
Aliran Antroposentris menganggap bahwa hakikat
realitas transenden bersipat intrakosmos
dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos, baik yang natural
maupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos.
Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia
adalah melepaskan unsur natural yang jahat.
2)
Teolog
Teosentris
Aliran Teosentris menganggap hakikat realitas
transenden bersifat suprakosmos, personal,dan ketuhanan. Tuhan adalah pencipta
segala sesuatu yang ada di kosmos ini. Ia dengan segala kekuasaan-Nya mampu
berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat
kosmos. Manusia adalah ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.
3)
Aliran
Konvergensi atau Sintesis
Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas
transenden bersifat supra sekaligus intrakosmos, personal dan interpersonal,
makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tambak dan abstrak dan
sifat lain yang dikotomik. Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjali
atau cermin asma dan sifat realitas mutlak. Aliran ini berkeyakinan bahwa
hakikat daya manusia adalah proses kerjasama antara daya yang transendental
(Tuhan)bdalam bentuk kebijaksanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk
teknis.
4)
Aliran
Nihilis
Aliran Nihilis menganggap bahwa hakikat
realitas transendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak Tuhan yang
mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan kosmos. Kekuatan terletak pada
kecerdikan pada diri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari
tawaran yang terburuk. Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat
fisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.
3. Hubungan Ilmu Kalam, Filsafat, Dan Tasawuf
Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf mempunyai
kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah tentang ketuhanan dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah
ketuhanan disamping masalah alam, manusia dan segala sesuatu yang ada.
Sementara itu objek kajian tasawuf adalah tuhan yakni upaya-upaya mendekatkan
diri terhadap-Nya.
4.
Tokoh, Latar Belakang dan Pemikiran Kalam
Khawarij
Berdasarkan pengertian etimologi khawarij
berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam. Adapun yang
dimaksud khawarij secara terminologi ilmu kalam adalah suatu
skate/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim), dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat
(pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
Doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat
dikategorikan dalam tiga kategori : politik, teologi, dan sosial.kaum khawarij
ini mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang
itu adalah penganut agama islam. Islam yang benar adalah islam yang difahami
dan diamalkan oleh mereka,sedangkan islam sebagaimana yang difahami dan
diamalkan golongan lain tidak benar.
5.
Tokoh Latar Belakang dan Pemikiran Kalam
Al-Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau
arja’a yang bermakna penundaa, penangguahan, dan pengharapan. Kata arja’a
mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberikan harapan kepada pelaku
dosa besar untuk mendapatkan pengampunan dari Allah. Al-Murjiah artinya orang
yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa,yakni Ali dan
Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang
kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja
dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan
kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan
menghindari sektarianisme. Murji’ah baik itu sebagai kelompok politik maupun
teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij.
Kelompok ini merupakan musuh berat khawarij.
Harun Nasution secara garis besar membagi
menjadi dua skate, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah
moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak
pula kekal di neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni Allah
maka tidak masuk neraka sama sekali. Adapun yang termasuk kelompok ekstrim
adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan
Al-Hasaniyah. Pendapat tiap kelompok berbeda-beda.
6. Tokoh, Latar Belakang, dan Pemikiran Kalam
Mu’tazilah
Kemunculan teologi islam diawali oleh masalah
yang hampir sama dengan kedua aliran yang mebicarakan tentang pelaku dosa
besar. Setiap pelaku dosa besar menurut Mu’tazilah berada di posisi tengah
antara mukmin atau kafir, jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat
bertaubat, ia akan dimasukan kedalam neraka selama-lamanya. Walawpun demikian
siksaannya lebih ringan dari siksaan orang kafir. Setiap pelaku dosa besar
Dalam perkembangannya beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amr
bin Ubaid memperjelas dengan istilah bukan mukmin atau kafir.
7.
Tokoh, Latar Belakang, dan Pemikiran Kalam
Jabariyah
Kata jabara yang berarti memaksa. Lebih
lanjutnya Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al jabar berarti menghilangkan
perbuatan manusia yang sesungguhnya dan menyadarkan kepada Allah. Dengan kata
lain manusia mengerjakan dalam keadaan terpaksa tunduk pada Allah.
Faham al jabar telah muncul sejak awal periode
islam. Namun al jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut,
dipelajari, dan dikembangkan baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani
Umayah.
8.
Tokoh, Latar Belakang, dan Pemikiran Kalam
Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab yaitu dari
kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian
terminologi qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Sebutan Qodariyah sudah melekat
kaum sunni yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.
Menurut Ahmad Amin ada ahli teologi yang
mengatakan bahwa qodariyah dimunculkan pertama kali oleh Ma’bad Al-Jauhani
(seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri)
dan Ghailan Ad-Dimasyqy (seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya
menjadi maula Utsman bin Affan).
9.
Pemikiran
Kalam Ulama Modern
1)
Syekh
Muhammad Abduh
a.
Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh nama
lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat
Nashr Kabupaten Al- Buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M. mula-mula Abduh dikirim
ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tanta belakangan tempat ini menjadi pusat
kebudayaan selain al-Azhar. Setelah 2 tahun disana, ia memutuskan untuk kembali
kedesanya dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Pada saat umur 16
tahun, ia dikawinkan. Atas dorongan dan bimbingan pamannya, Syekh Darwis,
akhirnya ia menyelesaikan studinya. Kemudian ia melanjutkan studi di Al-Azhar
pada bulan Februari 1866 dan selesai pada tahun 1877 dengan gelar Alim,
Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan dirumahnya sendiri. Pada
tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu
dipegangnya sampai ia meninggal dunia. Beliau
wafat pada tanggal 11 juli 1905 di Alexandria. Setelah banyak mewarisi
peninggalan berharga bagi generasi selanjutnya. Pembaharuan dalam pemikiran
keislaman serta perbaikan dibidang politik dan ekonomi.
a) Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Ada dua pendapat persoalan
pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, yaitu :
- Membebaskan akal
pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan
agama yakni dengan memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
- Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media masa.
b)
Kebebasan manusia dan fatalisme
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempumyai
kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri
manusia, namun tidak mempunyai kebebasan absolut.
c) Sifat-sifat Tuhan
Harun Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat
termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya,
d) Kehendak mutlak Tuhan. Tuhan tidak bersifat mutlak,
e) Keadilan Tuhan
Sifat ketidak adilan Tuhan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena
ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan alam semesta.
f) Antrofomorfisme
Tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau ruh
makhluk di alam ini.
g) Melihat Tuhan
Kesanggupan melihat Tuhan hanya dianugerahkan kepada orang-orang tertentu
di akhirat.
h) Perbuatan Tuhan,
Wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi manusia.
2)
Sayyid Ahmad
Khan
1. Riwayat Singkat
Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan,
ia berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Melalui Fatimah dan
Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II
(1754-1759). Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid. Pada tahun 1878 ia
juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di
Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk
memajukan umat Islam India.
2.
Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan memiliki kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir-setelah
Abduh berpisah dengan Jamaludin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal
yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai
penganut ajaran Islam yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia
berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas. Ia
mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya manusia telah
dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantarnya adalah daya berpikir berupa
akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya.
Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham
taklid. Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang
perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam dengan situai dan kondisi masyarakat yang senantiasa
mengalami perubahan.
Dapat disimpulkan
pemikiran-pemikiran kalam Sayyid Ahmad Khan, antara lain:
1. Kedudukan Akal
Akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.
2. Kebebasan Manusia
Manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan.
3. Sayyid Ahmad Khan menolak adanya taklid
percaya adanya hukum alam.
3)
Muhammad
Iqbal
1. Riwayat
Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Ia berasal dari keluarga
kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal
saleh. Pada tahun 1895 ia pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang
menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota ini ia bergabung dengan
perhimpunan sastrawan yang sering diundang musyara'ah, yakni pertemuan -
pertemuan di mana para penyair membacakan sajak - sajaknya. Ini merupakan
tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Di kota Lahore
ini, sambil melanjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar filsafat di
Government College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia
mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu
dengan Sir Thomas Arnold orientalis Inggris yang terkenal yang mengajarkan
filsafat Islam di College tersebut. Antara keduanya terjalin kedekatan melebihi
hubungan guru dan murid, sebagaimana tertuang dalam sajaknya Bang-I Dara.
Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai
salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di Lahore. Sajak-sajaknya banyak
diminati orang. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson,
seorang spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.McTaggart.
Iqbal kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan
doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in
Persia.( disertasi ini kemudian diterbitkan di London dalam bentuk buku, dan
dihadiahkan Iqbal kepada gurunya, Sir Thomas Arnold ).
Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kembali ke London untuk belajar di
bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas
London. Selama di Eropa Iqbal tidak pernah bosan menemui para ilmuwan untuk
mengadakan berbagai perbincangan tentang persoalan-persoalan keilmuan dan
kefilsafatan. Ia juga memperbincangkan Islam dan peradabannya. Di samping itu
Iqbal memberikan ceramah dan berbagai kesempatan tentang Islam. Isi ceramahnya
tersebut dipublikasikan dalam berbagai penerbitan surat kabar. Ternyata setelah
menyaksikan langsung dan mengkaji kebudayaan Barat, ia tidak terpesona oleh
gemerlapan dan daya pikat kebudayaan tersebut. Iqbal tetap concern pada budaya
dan kepercayaannya.
Karya - karya Muhammad Iqbal : Asrar-i Khudi (Rahasia Pribadi, 1915),
Bang-i Dara (Seruan dari Perjalanan, 1924), The Recunstruction of Relegious
Thought in Islam, 1930), Payam-i Masyriq (Pesan dari Timur, 1923) dan lain-lain. Pada tahun 1935, ia jatuh
sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula,
dan ia meninggal pada tanggal 20 April 1935.
2.
Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal
sebagai seorang filosof eksistensialisme. Sebagai seorang pembaharu, iqbal pun
menyadari perlunya umat Islam untuk melakukan pembaharuan agar keluar dari
kemundurannya. Katanya, kemunduran umat Islam disebabkan kebekuan umat Islam
dalam pemikiran dan ditutupnya pintu ijtihad. Hal inilah yang dianggapnya
sebagai penyimpangan dari semangta Islam, semangat dinamis dan kreatif. Lebih
jauh ia menegaskan bahwa syariat pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan
alat untuk merespon kebutuhan indiviu dan masyarakat karena Oslam selalu mendorong
terwujudnya perkembangan.
Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam
bersifat statis. Islam, katanya mempertahankan konsep dinamis dan mengakui
adanya gerak perubahan dalam kehidupan social manusia. Oleh karena itu, manusia
dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya
penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang
dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunkannya Al-Qur’an,
menurutnya adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan
dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan
dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah
inilah yang dalam rumusan fiqih disebut ijtihad.
Ijtihad disebut oleh Iqbal sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang
kekakuan serta kejumudan hukum Islam. Ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad
kolektif.
a)
Hakikat Teologi
Secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimana,
mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya
terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebas
merdekaan”.
b) Pembuktian Tuhan
Dalam pembuktian eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argument kosmologis
maupun ontologis. Ia juga menolak argument teleologis yang
berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah
luar. Walaupun demikian, ia menerima landasan teleologis yang imanen
(tetap ada). Jadi, Iqbal telah menafsirkan Tuhan yang imanen bagi alam.
c) Jati Diri Manusia
Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan
mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya,
seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukan jiwa sehingga fana dengan
Allah.
d)
Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur’an
menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Allah
telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh risiko ini, menunjukkan
kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Maka kewajiban manusia adalah
membenarkan adanya kepercayaan ini. Namun, pengakuan terhadap kemandirian
(manusia) itu melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul
dari keterbatasan kemandirian itu.
e)
Surga dan Neraka
Surga dan neraka, adalah keadaan, bukan tempat. Neraka, menurut rumusan
Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan membumbung keatas hati”,
pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah
kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan
yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam Islam. Neraka,
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi
yang disediakan Tuhan. Ia adalah pengalaman korektif yang dapat memperkeras ego
sekali lagi agar lebih sensitive terhadap tiupan angin sejuk dari kemahamurahan
Allah. Surga juga bahkan bukan merupakan tempat berlibur. Kehidupan itu hanya
satu dan berkesinambungan.
10. Ilmu kalam masa kini
a. Ismail
Al-Faruqi
1. Riwayat
Singkat Ismail Al-Faruqi
Ismail Raji Al-Faruqi, lahir
pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa Palestina. Pada tahun 1941, Al-Faruqi
mengambil kuliah filsafat di American University, Beirut. Setelah tamat dan
meraih gelar Bachelor of Arts, ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil
pada pemerintahan Inggris- yang memegang mandate atas Palestina ketika
itu-selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun, ia
diangkat menjadi Gubernur Galilea.
Pada tahun 1949, Faruqi hijrah
ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar master filsafat dari
Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master filsafat kembali ia raih
dari Universitas Harvard.
Kesempatan untuk menjadi kaya
semakin terbuka baginya. Akan tetapi, hasrat dan bakat bisnis itu ditepisnya.
Faruqi memilih kembali ke Universitas Indiana, dan pada tahun 1952 meraih Ph. D
filsafat dengan disertasi berjudul On Justifiying the God: Metaphysics and
Epistemology of Value.
Merasa kurang pengetahuannya
mengenai Islam, walaupun sudah bergelar doctor, Faruqi lalu pergi ke Mesir.
Selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di Universitas Al-Azhar.
Selama 2 tahun (1959-1961) ia mengajar dan juga mempelajari etika Yahudi dan
Kristen di Universitas McGill, Canada.
Pada tahun 1964, Faruqi
kembali ke AS. Pertama-tama yang dia kerjakan adalah menjadi guru besar tamu
pada Universitas Chicago dan Associate Profesor bidang agama pada Univesrsitas
Syracuse. Lalu pada tahun 1968, hingga wafatnya, ia menjabat guru besar
agama pada Universitas Temple. Bersamaan itu juga ia menjabat sebagai
professor studi keislaman pada Central Institute of Islamic Research,
Karachi.
Faruqi tergolong pengajar yang
humoris dan memiliki banyak cara untuk muridnya tidak merasa jenuh.
Kuliah-kuliahnya mengenai Islam menjadikan iman dan sejarah Islam sebagai
sesuatu yang hidup dikelas.
Sayyed Hussein Nasr, sarjana
muslim yang juga mengajar diberbagai universitas di AS, menyebutnya sebagai
“Sarjana muslim pertama yang mendedikasikan sepanjang hayatnya pada studi-studi
Islam di AS dan menjadikan AS sebagai kediaman terakhirnya.”
Keaktifan Faruqi diberbagai
kelompok studi Islam dan keterlibatannya dalam gerakan-gerakan Islam amat
menonjol. Ia adalah tokoh dibalik pembentukan MSA, ISNA, AJISS, AMSS, IIIT, dan
banyak lagi lembaga keislaman di AS.
Faruqi juga duduk sebagai
penasihat diberbagai unversitas di dunia Islam dan ikut mendesain program studi
Islam di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Libya, Saudi Arabia, dan
Mesir. Juga di tempat-tempat terpencil Mindanao State University, Filipina
dan Universitas Islam Kum, Teheran.
Dia menjadi dewan editorial
pada sejumlah jurnal, menulis lebih dari 100 artikel diberbagai jurnal ilmiah,
disamping mengarag dua puluh lima judul buku. Adapun The Cultural Atlas of
Islam adalah salah satu karyanya yang merupakan hasil kerjasama dengan Prof.
Lamya, istrinya.
2.
Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi
Pemikiran Al-Faruqi tentang
kalam dapat ditelusuri melalui karyanya yang berjudul, Tahwid: Its
Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tauhid).
Al-Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut:
a) Tauhid sebagai inti pengalaman agama
b) Tauhid sebagai pandangan dunia
c) Tauhid sebagai intisari Islam
d) Tauhid sebagai prinsip sejarah
e) Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
f) Tauhid sebagai prinsip metafisika
g) Tauhid sebagai prinsip etika
h) Tauhid sebagai prinsip tata sosial
i) Tauhid sebagai prinsip ummah
j) Tauhid sebagai prinsip keluarga
k) Tauhid sebagai prinsip tata politik
l) Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
m) Tauhid sebagai prinsip estetika
b.
Hasan Hanafi
1.
Riwayat Singkat Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal
13 Februari 1035 di Kairo. Ia berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya
diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan
melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo yang
diselesaikannya selama empat tahun. Semasa di Tsanawiyah, ia aktif mengikuti
diskusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin. Oleh karena itu, sejak kecil ia telah
mengetahui pemikiran yang dikembangkan kelompok itu dan aktivitas sosialnya.
Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan
social dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi,
dan perubahan social.
Dari sekian banyak tulisan
atau karya Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak
sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat
tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah menformulasikan satu
kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama
bagi kesejahteraan umat manusia.
2.
Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a)
Kritik terhadap teologi tradisional
-
Teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah
pandangan yang benar–benar hidup, dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan
konkret ummat manusia.
-
Kegagalan para teolog tradisional disebabkan
oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran
murni dan nilai-nilai perbuatan manusia.
b)
Rekonstruksi teologi
-
Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah
menjadikan teologi menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial yang menjadikan
keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan
etik dan motivasi manusia.
c. H.M. Rasyidi
1.
Sekilas tentang H.M. Rasyidi
Dalam konteks pertumbuhan
kajian akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit mengesampingkan kehadiran
H.M. Rasyidi, lulusan lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang
melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada.
Lepas dari retorika-retorika anti baratnya, orang tak akan luput mendapati
bahwa hamper keseluruhan konstruksi akademiknya dibangun atas dasar
unsure-unsur yang ia dapatkan dari Barat. Tegasnya kaum orientalis darpada
lainnya. Ia daalah intelektual Indonesia yang paling banyak memperoleh tidak
hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan ramuan-ramuan intelektual dari gudang
orientalisme. Dialah yang berpengaruh dalam usaha mengirimkan para lulusan IAIN
atau sarjana lainnya ke Montreal sehingga banyak orang yang benar-benar harus
berterimakasih kepadanya. Dan apa yang telah dirintisnya itu kemudian
diteruskan dalam skala yang lebih besar dan penuh harapan oleh Munawir
Sjadzali.
H. Mohamad Rasjidi (Kotagede,
Yogyakarta, 20 Mei 1915 - 30 Januari 2001) adalah mantan Menteri Agama
Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat,
Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru
pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941)
Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta
Karya Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan
Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah,
1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982.
2.
Pemikiran Kalam H.M. Rasyidi
Pemikiran kalam Rasjidi dapat
ditelusuri dari kritikan-kritikan yang dialamatkan kepada Harun Nasution dan
Nurcholis Madjid. Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa
tokoh seangkatannya. Tentang Ilmu kalam, ia membedakannya dengan teologi.
Menurutnya teologi berarti ilmu ketuhanan yang kemudian mengandung
beberapa aspek ajaran Kristen yang diluar kepercayaan sehingga teologi kristen
tidak sama dengan tauhid atau ilmu Kalam. Tentang akal, beliau berpendapat
bahwa akal tidak mampu mengatahui baik dan buruk, hal ini dapat dibuktikan
dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran
rasionalisme dalam filsafat barat. Dengan menganggap akal dapat mengetahui baik
dan buruk berarti juga meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran H.M Rasydi ini
sedikit banyaknya mengarah kepada pemikiran Al Maturdiyah yang banyak dianut di
Indonesia.
Secara garis besar pemikiran
kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
a) Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi
Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi Ilmu kalam adalah teologi Islam dan
teologi adalah ilmu kalam Kristen Kata teologi kemudian mengandung beberapa
aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi
dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.
b) Tema-tema ilmu kalam
Deskripsi aliran-aliran kalam
yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di
Indonesia. Menonjolkan perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan
melemahkan iman para mahasiswa.
c) Hakikat iman
Iman bukan sekedar menuju
bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi kontekstual
atau hubungan manusia dengan manusia, yaitu hidup dalam masyarakat.
d.
Harun Nasution
1.
Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir di
Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada hari Selasa 23 September 1919. Ayahnya
Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi.
Pendidikan formalnya dimulai di sekolah Belanda HIS (Hollandsche Indlansche
School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari Moderne
Islamietische Kweekschool. Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas
Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di
American University of Cairo.Harun Nasution menjadi pegawai Deplu RI di
Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas
McGill di Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN
Syarif Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN
Syarif Hidayatullah. Harun Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998
di Jakarta. Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran Muktazilah
(rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam
ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara
rasional. Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka.
Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun
Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan
pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan
rasa saling curiga. Beberapa buku yang pernah
ditulis oleh Harun Nasution antara lain : Akal dan Wahyu dalam Islam (1981),
Filsafat Agama (1973), Islam Rasional (1995) dan Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(1975).
2.
Pemikiran Kalam Harun Nasution
a)
Peranan akal
Secara garis besar pemikiran
Harun Nasution mengarah kepada pemikiran Muktazillah yang menunut kepada
peranan akal dalam kehidupan manusia. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution
menulis demikian “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia
mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya.
Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk
mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah
rendah pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.Hal ini dasarkan ada kenyataan bahwa Islam memberikan kedudukan yang
tinggi terhadap peranan akal dalam kehiduapn manusia untuk perkembangan ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan keagamaan Islam.
b)
Pembaharuan teologi
Menurut Harun Nasution, umat
Islam hendaklah mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will,
rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya
menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
c)
Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran
Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa
hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an.Orang yang
beriman tidak perlu
menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya.Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Akal tetap tunduk kepada teks
wahyu.Teks wahyu tetap dianggap benar.Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan
tidak untuk menentang wahyu.Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu
sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi.Yang
dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dengan
wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari
teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah
pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar